“Muslimah dengan segala
perannya, menjadikannya sosok yang dinanti kehadirannya. Bukan untuk keindahan
duniawi semata melainkan figur hamba taat yang mendamba keridhaan Rabbnya. “
Wanita adalah pendidik pertama dan utama dari
sebuah generasi. Inilah yang menjelaskan sebuah kalimat, bahwa wanita (seorang
ibu) adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Jauh sebelum terlahir ke dunia,
seorang anak bisa menjadi shalih atau sebaliknya, erat kaitan dengan kualitas
ibunya. Peran seorang
wanita tak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan. Semua aspek hidup
setidaknya selalu bersentuhan langsung dengan tangan dingin para wanita, sosok
yang akan menjadi penggerak dan pembangun peradaban.
Lalu dimanakah peran
muslimah sebagai garda pengenal wanita itu? Adakah disana kontribusi nyata dari
tindakannya?
Muslimah, mendengarnya
mungkin terlintas sosok yang baik, halus, anggun, alim, lembut, lengkap dengan penampilan jilbab dan khimar
panjangnya. Ketenangan yang memancar dari tatapannya seakan menjadi penyejuk
dan pengindah suasana. Terlintas pemikiran yang begitu ideal dan sempurna akan
kata “muslimah”.
Semua stigma dan pandangan itu menjadikannya
sebagai suatu tolok ukur sebagai muslimah yang dikatakan ideal. Namun, nyatanya
proses untuk menuju keshalihan itu bukanlah isapan jempol atau semudah
membalikkan telapak tangan. Melainkan upaya berkelanjutan yang harus terus
dioptimalkan dan disempurnakan. Sebab tugas utama seorang hamba memang
mengabdikan diri kepada Allah dengan terus memperbaiki kualitasnya.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya
perhiasan adalah wanita sholihah”(HR Muslim).
Keshalihan itu yang seharusnya menjadi tujuan,
kedekatan dengan Rabbnya yang sepatutnya menjadi tumpuan. Bukan hanya gelar, bukan
hanya sebutan atau bukan pula sekadar anggapan untuk menjadi muslimah yang
katanya ideal.
Semua wanita yang muslim adalah muslimah, dan hal
itu adalah mutlak. Wanita muslim resmi menyandang gelar muslimah tanpa harus
dirinya mengklasifikasikan untuk menjadi seseorang yang disebut ‘ukhti’ atau
sekadar ‘wanita yang islamnya biasa saja’.
Wanita muslim nyatanya tak mengenal kasta yang
menjadikannya berbeda antara satu dengan lainnya. Semuanya sama, karena yang
membedakan adalah pandangan disisi Rabbnya. Peran yang diberikan padanya pun
sama. Wanita memiliki peran dan terkhusus pun muslimah yang memiliki peran
kepada Allah SWT dan peran dengan sesama manusia. Dengannya maka lakukanlah
peran itu secara sederhana, sesederhana seorang hamba yang mengiyakan titah
Tuhannya. Sami’na wa Atho’na.
Muslimah ideal, bukanlah hanya sekadar saat
pakaian yang dikenakan telah begitu panjang
dan menutup, atau saat dianggap sebagai ukhti sholihah cap masjid kampus. No way. Tersebab muslimah lebih dari
sekadar itu.
Kehidupan kampus yang notabene universal memang membuat
para muslimah harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Berusaha untuk menjadi
wanita, sosok pengubah peradaban yang mampu merefleksikan islam dalam aspek
kehidupan. Entah itu dengan menjadi mahasiswi akademis yang kebut deadline
tugas, aktivis organisasi yang sibuk dengan proker, atau mahasiswi sosialis
dengan segudang aktivitas sosialnya.
Namun, lagi, mainkan saja peran yang ada, tugas
kita hanya taat kan?
Tidak ada yang sia-sia dengan apa yang sedang
diupayakan dan diusahakan, apapun itu, entah peran apa yang sedang dimainkan.
Tersebab menjadi muslimah itu bukan hanya soal bagaimana tampilan fisik atau
lingkungan yang kita geluti, melainkan ada pada kedalaman diri. Tentang bagaimana
posisi Allah di dalam hati, atau setinggi apa tujuan dakwah terlaksana dalam
rentetan mimpi. Kontribusi aktif seorang muslimah bukan hanya saat ia aktif di
kegiatan rohis, tetapi saat apa yang ia lakukan dimanapun itu mampu memberikan
dampak nyata untuk sekelilingnya, menjadi agent of change, penggerak perubahan
dengan refleksi islam tergambar dalam kehidupan.
Juga tak lantas dengan anggapan muslimah itu
harus kalem, anggun, dan bersahaja lalu membuat lupa akan jati diri, oleng
dengan visi atau tersesat hingga tak kenal dengan diri sendiri. Stop it, karena menjadi muslimah versi diri
sendiri akan lebih asik dari sekadar ingin dianggap menjadi muslimah dengan
paradigma yang selama ini telah melekat di kalangan awam.
Sederhananya, muslimah masih bisa menjadi pribadi
yang konyol, kocak, juga bergaul dengan siapapun. Hal itu pun tidak akan
sedikitpun mengurangi tingkat kedewasaan atau keanggunannya, karena kedewasaan itu
sejatinya adalah tentang bagaimana pola pikir.
Setiap pribadi memiliki caranya sendiri untuk menjadi seorang muslimah. Kun
Anta, maka jadilah bersinar dengan cara masing-masing.
Muslimah ideal, akhirnya tidak ada yang dapat
mendefinisikan secara pasti akan kata yang disebut ideal. Karena muslimah
adalah mereka yang dengan kontribusinya mampu memberikan perubahan berarti
tanpa peduli posisi atau berada dalam lingkup islami. Pilihan mereka adalah menjadi
agen perubahan dengan jalan yang mereka yakini dan lalui berdasarkan nurani.
Sekarang, nanti, dan entah sampai kapan perjalanan muslimah akan terus terekam
menjadi saksi peristiwa kehidupan hebat yang akan ia pertanggungjawabkan di
hadapan Rabbnya.
Menjalani perannya, menjalani apa yang Allah
amanahkan untuknya.-
Perlu diperbaiki lagi vi
BalasHapus