Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Berdaya dengan berbagai peran

Minggu, 25 Juni 2017

Story : Menemukannya

~based on true story~
Pagi yang cerah, udara yang segar, dan sepertinya akan menjadi hari yang baik untukku memulai kuliah hari ini. Bagiku menjadi seorang mahasiswa baru adalah hal yang menantang, kita dihadapkan pada lingkungan yang asing, teman-teman yang baru, dan apalagi bagiku ini adalah jalan hidup yang baru. Awal yang mungkin terasa berat karena sebenarnya bukan ini yang aku impikan, tetapi jalan yang tak pernah aku bayangkan akhirnya datang juga kepadaku. Akhirnya, mau tidak mau inilah cerita yang harus kulalui.
Langkah ini mulai mengayun, meniti setiap tapak jalan becek yang terguyur hujan semalam. Mungkin aku harus mulai membiasakan diri untuk berjalan di gang sempit ini setiap hari, bergerumun dengan puluhan mahasiswa yang juga akan bergegas menuju kampus. Ku jejaki jalanan kampus berharap segera tiba di gedung yang berada tepat di tengah gerombolan bangunan yang sudah nampak usang. Waktu yang ada seakan mengejar dan menyergap ketidaksiapanku dengan hari ini.
“Duh.. waktunya mepet, telat gak ya.” begitu, gumamku.
Aku percepat langkahku menaiki tangga di gedung itu, hingga tiba di suatu ruangan yang aku yakin menjadi kelas dimana aku akan belajar ilmu baru. Aku dapati ruangan itu telah penuh dengan mahasiswa yang sungguh terlihat bersemangat sekali. Pojok kanan depan, hanya satu bangku itu yang kosong. Terlihat sosok mahasiswi berjilbab yang sedang menunduk disana. Yah mau gimana lagi, langkah kaki akhirnya mendekat menuju bangku itu.
“Ehm.. maaf, boleh aku duduk disini?” tanyaku.
“Oh iya, silahkan mbak.”sahutnya.
Aku bersyukur sekali setidaknya aku bisa mendahului dosen lebih awal masuk kelas. Namun, sedihnya memang harus duduk di barisan depan, pojok pula. Ini sungguh bukan tempat yang menyenangkan.
Tiktok, tiktok. Entah kenapa rasanya jam tanganku terdengar lebih nyaring kali ini. Di tengah kebisingan kelas yang penuh dengan suara candaan teman-teman, di bangku ini aku terdiam. Tidak ada percakapan yang terlontar dariku atau orang di sebelahku. Setidaknya, kami masih terdiam selama 5 menit setelah aku duduk di sini. Setidaknya, masih dalam rentang waktu yang wajar.
Namun, 10 menit berlalu. 15 menit berlalu. Dosen belum juga datang. Teman-teman yang lain mulai asyik bercengkrama dengan kawan barunya. Oke ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus memulai bicara.
“Em, eh.. namamu siapa ya?”tanyaku, yang akhirnya memulai.
“Nisa, kamu?”jawabnya, singkat.
“Ooh, namaku Anida. Kamu dari mana?”
“Tulungagung. Tau gak? Hehe.”
“Tau lah, Jawa Timur kan? Aku dari Semarang.”
Akhirnya obrolan kami pun berlanjut, lama sekali. Entah aku merasa percakapan pertama kami itu masih belum cukup, aku ingin berdiskusi banyak dengannya. Menurutku, dia adalah orang yang baik dan sepertinya menyenangkan. Setidaknya itu yang aku rasakan, sejauh beberapa menit aku mengenalnya.
Hari-hari terus bergulir, aku lebih memilih untuk selalu duduk di sampingnya kali ini. Waktu luang yang ada pun kami manfaatkan untuk berbicara banyak hal, banyak sekali. Mulai dari masalah kuliah, sosial, lingkungan, agama, hingga aku mampu menceritakan ceritaku kepadanya.
Sekilas kala itu, suasana hening.
“Hm..menurutmu lebih baik jadi idealis atau realistis?”tanyaku.
“Lebih baik kamu mencari apa yang sebenarnya dicari. Kalau emang yang kamu dicari disini, yaudah ini pilihanmu juga kan.”
Dia banyak memberikan nasehat kepadaku, walau banyak juga bercerita tentang dirinya, hingga kadang aku bosan dan menyuruhnya mengurangi kecerewetannya itu. Pada akhirnya, waktu lah yang mengajari kami untuk saling memahami satu sama lain, mendekatkan diri dalam jalinan persaudaraan yang terasa erat karena kesatuan visi. Dari sini pula aku mendapat pelajaran bahwa selamanya kita tak akan pernah berdamai dengan takdir bila tak mau membuka lembar baru yang telah tersedia di hadapan, selamanya pula kita tak akan pernah melangkah maju bila fokusnya hanya untuk memandang yang jauh ada di belakang.
Semakin aku melangkah di jalan ini, semakin aku yakin, semakin aku menemukan mimpi-mimpi baru yang ingin aku bangun dan wujudkan suatu hari nanti. Mimpi yang lebih luas, bukan lagi hanya tentang mimpiku, tetapi juga mimpi jutaan orang yang berharap kesuksesan.
Hari demi hari bergulir, bulan demi bulan berganti, hingga tak terasa satu semester pun telah dilalui. Kedekatanku dengan Nisa semakin teruji. Mungkin bukanlah hal yang mudah untuk berdamai dengan keadaan, saat kegiatanku terus saja memaksa untuk lebih sibuk di luar sana. Ini menyulitkan.
Terlebih rasanya kekuatan yang ada di dalam diri itu mulai terkikis. Saat ujian persahabatan berada pada titik mulanya. Ia diam hingga kadang aku tidak lagi mampu untuk meruntuhkan ego yang ada. Bingung. Bagaimana mungkin ketika ujian datang dan membuatku futur, justru penyemangatku dalam ketaatan beranjak pergi.
Bulanku mulai redup cahayanya. Dia laksana bulan bagiku. As-syam. Ketaatannya dan keteduhannya memberikanku semangat untuk terus memperbaiki diri. Mungkin terasa sulit menerima kenyataan jika nyatanya bulan itu tak lagi purnama. Tapi pertanyaannya, apakah aku masih bisa melihat senyumku sendiri di kegelapan tanpa ada pantulan cahaya bulan itu?
“Nid.. aku mau bilang sesuatu.” sahutnya tiba-tiba.
Hari itu kami di kelas, seperti saat pertemuan kami yang pertama, kelas sedang ramai dengan candaan dan ocehan teman-teman.
“Iya, Nis. Kenapa?”
“Aku boleh bilang nggak, aku tu sedih karena kamu kayak menjauh dari aku.” terangnya.
Degg rasanya ini juga yang aku rasakan. Mengapa malah dia yang merasa aku menjauh darinya.
“Menjauh apa? Aku gak pernah niat menjauh dari kamu.”
“Nid.. aku itu seneng punya teman kayak kamu. Aku selalu cerita ke ibuku kalo aku punya teman terbaik disini.” jelasnya. “Aku kagum sama kamu, kamu bisa semuanya. Akademikmu, agamamu, organisasimu, semuanya balance, aku tu…”
“Kamu ngomong apa sih, seharusnya aku yang kagum sama kamu. Tau gak saat masa-masaku lagi down, aku berkaca dari kamu. Kalo kamu seneng punya temen kayak aku, berarti aku lebih seneng karna bisa kenal sama kamu.”
Tes. Bulir itu terjatuh. As-Syamku. Rembulanku mengukir senyumnya kembali, di hadapanku. Rasanya kini seperti menemukan apa yang selama ini tertuang dalam doa-doa di sujud panjangku. Ya Tuhan berikan aku sahabat yang bisa membimbing dan menjagaku dalam ketaatan. Pertemukan aku dengan dia yang bisa menjadi penguat tekad untuk mencapai misi dunia dan akhirat.
“Kadang aku berfikir, mungkin aku nggak bisa jadi kayak kamu, Nid. Tapi…”
“Iya emang kamu gak bisa kayak aku, karna kamu lebih baik dari aku.”
“Ih nggak lho, apasih sahabat terbaikku….”jawabnya, sambil tertawa lebar.
“Udah ya, sekarang sama-sama memperbaiki diri. Be the best version of us. Kita nggak akan bisa meniru atau menjadi orang lain, karna kita ya kita. Oke?”
***
Perjalanan menemukannya, aku bilang tidak mudah. Terkadang membutuhkan kesabaran untuk memahami mau apa sebenarnya dia. Lelah yang menderu seakan menjadi saksi ingatan, saat aku merasa mungkin melangkah sendiri akan lebih baik. Jiwa yang haus akan pengakuan “sahabat” atau mungkin juga tubrukan visi akibat  keinginan untuk diberi tanpa berfikir untuk memberi.
Rembulanku, dia mungkin tidak tau banyak tentangku. Aku pun juga hanya sedikit tau tentangnya. Dia memandangku laksana bintang yang menurutnya dapat bersinar di manapun tempatnya. Sedang aku menganggapnya bulan yang pantulan cahayanya menenangkan dalam kegelapan. Pertemuan yang bisa dibilang tidak sengaja mempertemukan di satu bangku terdepan saat itu. Kini aku bilang bahwa bangku pojok depan adalah tempat yang menyenangkan, karena di sana aku temukan doaku telah menemui takdirnya.

Bulan dan bintang. Keduanya melengkapi bukan? Memberikan keindahan untuk sang bumi yang sedang diselimuti kegelapan. Begitu pula aku dan sang rembulan bertekad. Berjalan sendiri mungkin akan lekas sampai, sendiri mungkin akan lebih cepat, sendiri pula tak harus menunggu kawan yang kelelahan. Namun, bersama akan memberi penguatan, bersama akan lebih indah, dan bersama dapat mengajarkan sebuah proses untuk memahami lebih dalam.
Bagiku persahabatan yang dijalin telah mengajari betapa memahami orang lain itu sulit. Namun, akan lebih sulit untuk membiarkannya pergi dan menangis sendiri tanpa kita sadari.
Jadi, menghebatlah bersama-sama. Karena bersama akan jauh lebih bermakna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Skincare Rutin Theraskin untuk Ramadhan

Ramadhan, bulan penuh berkah bagi umat Muslim, tentunya memerlukan perhatian khusus dalam merawat kulit yang mungkin terpengaruh oleh peruba...