~based on true story~
Pagi yang cerah, udara yang segar, dan sepertinya akan menjadi hari yang baik untukku memulai kuliah hari ini. Bagiku menjadi seorang mahasiswa baru adalah hal yang menantang, kita dihadapkan pada lingkungan yang asing, teman-teman yang baru, dan apalagi bagiku ini adalah jalan hidup yang baru. Awal yang mungkin terasa berat karena sebenarnya bukan ini yang aku impikan, tetapi jalan yang tak pernah aku bayangkan akhirnya datang juga kepadaku. Akhirnya, mau tidak mau inilah cerita yang harus kulalui.
Pagi yang cerah, udara yang segar, dan sepertinya akan menjadi hari yang baik untukku memulai kuliah hari ini. Bagiku menjadi seorang mahasiswa baru adalah hal yang menantang, kita dihadapkan pada lingkungan yang asing, teman-teman yang baru, dan apalagi bagiku ini adalah jalan hidup yang baru. Awal yang mungkin terasa berat karena sebenarnya bukan ini yang aku impikan, tetapi jalan yang tak pernah aku bayangkan akhirnya datang juga kepadaku. Akhirnya, mau tidak mau inilah cerita yang harus kulalui.
“Duh.. waktunya mepet, telat gak ya.” begitu, gumamku.
Aku percepat langkahku menaiki tangga di gedung itu,
hingga tiba di suatu ruangan yang aku yakin menjadi kelas dimana aku akan
belajar ilmu baru. Aku dapati ruangan itu telah penuh dengan mahasiswa yang
sungguh terlihat bersemangat sekali. Pojok kanan depan, hanya satu bangku itu
yang kosong. Terlihat sosok mahasiswi berjilbab yang sedang menunduk disana.
Yah mau gimana lagi, langkah kaki akhirnya mendekat menuju bangku itu.
“Ehm.. maaf, boleh aku duduk disini?” tanyaku.
“Oh iya, silahkan mbak.”sahutnya.
Aku bersyukur sekali setidaknya aku bisa mendahului
dosen lebih awal masuk kelas. Namun, sedihnya memang harus duduk di barisan
depan, pojok pula. Ini sungguh bukan tempat yang menyenangkan.
Tiktok, tiktok. Entah kenapa rasanya jam tanganku
terdengar lebih nyaring kali ini. Di tengah kebisingan kelas yang penuh dengan
suara candaan teman-teman, di bangku ini aku terdiam. Tidak ada percakapan yang
terlontar dariku atau orang di sebelahku. Setidaknya, kami masih terdiam selama
5 menit setelah aku duduk di sini. Setidaknya, masih dalam rentang waktu yang
wajar.
Namun, 10 menit berlalu. 15 menit berlalu. Dosen belum
juga datang. Teman-teman yang lain mulai asyik bercengkrama dengan kawan
barunya. Oke ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus memulai bicara.
“Em, eh.. namamu siapa ya?”tanyaku, yang akhirnya
memulai.
“Nisa, kamu?”jawabnya, singkat.
“Ooh, namaku Anida. Kamu dari mana?”
“Tulungagung. Tau gak? Hehe.”
“Tau lah, Jawa Timur kan? Aku dari Semarang.”
Akhirnya obrolan kami pun berlanjut, lama sekali.
Entah aku merasa percakapan pertama kami itu masih belum cukup, aku ingin
berdiskusi banyak dengannya. Menurutku, dia adalah orang yang baik dan
sepertinya menyenangkan. Setidaknya itu yang aku rasakan, sejauh beberapa menit
aku mengenalnya.
Hari-hari terus bergulir, aku lebih memilih untuk
selalu duduk di sampingnya kali ini. Waktu luang yang ada pun kami manfaatkan
untuk berbicara banyak hal, banyak sekali. Mulai dari masalah kuliah, sosial,
lingkungan, agama, hingga aku mampu menceritakan ceritaku kepadanya.
Sekilas kala itu, suasana hening.
“Hm..menurutmu lebih baik jadi idealis atau
realistis?”tanyaku.
“Lebih baik kamu mencari apa yang sebenarnya dicari.
Kalau emang yang kamu dicari disini, yaudah ini pilihanmu juga kan.”
Dia banyak memberikan nasehat kepadaku, walau banyak
juga bercerita tentang dirinya, hingga kadang aku bosan dan menyuruhnya
mengurangi kecerewetannya itu. Pada akhirnya, waktu lah yang mengajari kami
untuk saling memahami satu sama lain, mendekatkan diri dalam jalinan
persaudaraan yang terasa erat karena kesatuan visi. Dari sini pula aku mendapat
pelajaran bahwa selamanya kita tak akan pernah berdamai dengan takdir bila tak
mau membuka lembar baru yang telah tersedia di hadapan, selamanya pula kita tak
akan pernah melangkah maju bila fokusnya hanya untuk memandang yang jauh ada di
belakang.
Semakin aku melangkah di jalan ini, semakin aku yakin,
semakin aku menemukan mimpi-mimpi baru yang ingin aku bangun dan wujudkan suatu
hari nanti. Mimpi yang lebih luas, bukan lagi hanya tentang mimpiku, tetapi
juga mimpi jutaan orang yang berharap kesuksesan.
Hari demi hari bergulir, bulan demi bulan berganti,
hingga tak terasa satu semester pun telah dilalui. Kedekatanku dengan Nisa
semakin teruji. Mungkin bukanlah hal yang mudah untuk berdamai dengan keadaan,
saat kegiatanku terus saja memaksa untuk lebih sibuk di luar sana. Ini
menyulitkan.
Terlebih rasanya kekuatan yang ada di dalam diri itu mulai
terkikis. Saat ujian persahabatan berada pada titik mulanya. Ia diam hingga
kadang aku tidak lagi mampu untuk meruntuhkan ego yang ada. Bingung. Bagaimana
mungkin ketika ujian datang dan membuatku futur, justru penyemangatku dalam
ketaatan beranjak pergi.
Bulanku mulai redup cahayanya. Dia laksana bulan
bagiku. As-syam. Ketaatannya dan keteduhannya memberikanku semangat untuk terus
memperbaiki diri. Mungkin terasa sulit menerima kenyataan jika nyatanya bulan
itu tak lagi purnama. Tapi pertanyaannya, apakah aku masih bisa melihat
senyumku sendiri di kegelapan tanpa ada pantulan cahaya bulan itu?
“Nid.. aku mau bilang sesuatu.” sahutnya tiba-tiba.
Hari itu kami di kelas, seperti saat pertemuan kami
yang pertama, kelas sedang ramai dengan candaan dan ocehan teman-teman.
“Iya, Nis. Kenapa?”
“Aku boleh bilang nggak, aku tu sedih karena kamu
kayak menjauh dari aku.” terangnya.
Degg rasanya ini juga yang aku rasakan. Mengapa malah
dia yang merasa aku menjauh darinya.
“Menjauh apa? Aku gak pernah niat menjauh dari kamu.”
“Nid.. aku itu seneng punya teman kayak kamu. Aku
selalu cerita ke ibuku kalo aku punya teman terbaik disini.” jelasnya. “Aku
kagum sama kamu, kamu bisa semuanya. Akademikmu, agamamu, organisasimu,
semuanya balance, aku tu…”
“Kamu ngomong apa sih, seharusnya aku yang kagum sama
kamu. Tau gak saat masa-masaku lagi down, aku berkaca dari kamu. Kalo kamu
seneng punya temen kayak aku, berarti aku lebih seneng karna bisa kenal sama
kamu.”
Tes. Bulir itu terjatuh. As-Syamku. Rembulanku
mengukir senyumnya kembali, di hadapanku. Rasanya kini seperti menemukan apa
yang selama ini tertuang dalam doa-doa di sujud panjangku. Ya Tuhan berikan aku
sahabat yang bisa membimbing dan menjagaku dalam ketaatan. Pertemukan aku
dengan dia yang bisa menjadi penguat tekad untuk mencapai misi dunia dan
akhirat.
“Kadang aku berfikir, mungkin aku nggak bisa jadi
kayak kamu, Nid. Tapi…”
“Iya emang kamu gak bisa kayak aku, karna kamu lebih
baik dari aku.”
“Ih nggak lho, apasih sahabat terbaikku….”jawabnya,
sambil tertawa lebar.
“Udah ya, sekarang sama-sama memperbaiki diri. Be the best version of us. Kita nggak
akan bisa meniru atau menjadi orang lain, karna kita ya kita. Oke?”
***
Perjalanan menemukannya, aku bilang tidak mudah.
Terkadang membutuhkan kesabaran untuk memahami mau apa sebenarnya dia. Lelah
yang menderu seakan menjadi saksi ingatan, saat aku merasa mungkin melangkah
sendiri akan lebih baik. Jiwa yang haus akan pengakuan “sahabat” atau mungkin
juga tubrukan visi akibat keinginan
untuk diberi tanpa berfikir untuk memberi.
Rembulanku, dia mungkin tidak tau banyak tentangku.
Aku pun juga hanya sedikit tau tentangnya. Dia memandangku laksana bintang yang
menurutnya dapat bersinar di manapun tempatnya. Sedang aku menganggapnya bulan
yang pantulan cahayanya menenangkan dalam kegelapan. Pertemuan yang bisa
dibilang tidak sengaja mempertemukan di satu bangku terdepan saat itu. Kini aku
bilang bahwa bangku pojok depan adalah tempat yang menyenangkan, karena di sana
aku temukan doaku telah menemui takdirnya.
Bulan dan bintang. Keduanya melengkapi bukan?
Memberikan keindahan untuk sang bumi yang sedang diselimuti kegelapan. Begitu
pula aku dan sang rembulan bertekad. Berjalan sendiri mungkin akan lekas
sampai, sendiri mungkin akan lebih cepat, sendiri pula tak harus menunggu kawan
yang kelelahan. Namun, bersama akan memberi penguatan, bersama akan lebih
indah, dan bersama dapat mengajarkan sebuah proses untuk memahami lebih dalam.
Bagiku persahabatan yang dijalin telah mengajari
betapa memahami orang lain itu sulit. Namun, akan lebih sulit untuk
membiarkannya pergi dan menangis sendiri tanpa kita sadari.
Jadi, menghebatlah bersama-sama. Karena bersama akan
jauh lebih bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar