Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Berdaya dengan berbagai peran

Selasa, 06 Februari 2018

Beropini : Kampus STAN dan idealisme

Saya tuliskan cuplikan pandangan ini, tentang apa yang orang sebut sebagai perjuangan ataupun kehilangan. Di pagi hari tepat pada masa liburan mahasiswa PKN STAN, luapan keinginan untuk mencoretkan bait kenangan itu kembali membuncah. Saya menyadari bahwa keinginan dan mimpi kami sebagai mahasiswa tidak lain dan tidak bukan adalah hanya ingin mencari identitas diri. Lantas kemana ranahnya itu yang kadang tak kami mengerti.

Langkah demi langkah yang kami arungi, menyadarkan kami banyak hal untuk diresapi. Bukan lagi tentang bagaimana aku dapat menggapai impianku, mungkin iya seperti itu, tapi itu untuk aku yang dulu. Aku yang berusaha keras untuk menjadi seorang dokter demi mewujudkan idealisme mimpi yang dibuncahkan guru SD, saat itu. Mengapa, mengapa mundur?
Mungkin, dalam pandangan mereka, mengapa begitu banyak orang yang memilih melepaskan mimpi hanya untuk setumpuk kepastian, uang, atau jabatan yang semu. Begitukah?

Saya ambilkan cuplikan idealisme saya pada masa SMA, keinginan kuat untuk mengabdi menjadi dokter professional yang tidak memungut bayaran apapun, sekali lagi tidak memungut apapun. Saya meyakini rezeki akan Allah atur sedemikian rupa, tak ada perasaan gentar dalam hati meskipun banyak orang berkata, dokter tak akan membuatmu kaya, sejahtera, atau mapan. Tak masalah, begitu kokohnya prinsip saya masa itu. Lecutan semangat itu terus ada mantap seiring terhunusnya mimpi pada takdir yang membahagiakan, setidaknya untuk saya. Fakultas Kedokteran, masyaAllah hai bu dokter. Seketika itu yang saya tanamkan pada diri, menguatkan pijakan kaki bahwa akan saya tepati janji untuk mengabdi. Lihatlah, senyuman anak-anak itu taruhannya.

Hingga saya kembali merenungi, mencampur adukan idealisme yang saya miliki dengan realisme yang ada saat ini. Bisakah saya? Mungkin terlalu pengecut saya pada masa itu, tersebab saya tau mungkin jalan itu akan meruntuhkan idealisme yang saya miliki, mungkin kelak keadaan memaksa saya untuk menjadi dokter yang terpaksa harus memungut bayaran. Terlalu takut bagi saya jika hal itu terjadi. Demikianlah idealisme saya menyelimuti kegundahan pikiran dan hati. Wallahi jalan itu, masa itu, dua minggu itu, kepastian itu, bercabang. Saya akan merasa menjadi dokter yang gagal jika sampai hal itu terjadi, dan itu artinya tidak akan pernah saya capai mimpi yang saya miliki.
Terlalu rumit untuk menjelaskan mengapa cabang ini yang akhirnya dipilih, tapi satu jawaban yang pasti, pililhan ini karena Allah, Tuhan saya. Bagaimana mungkin? Tapi itu yang setidaknya saya rasakan dengan bertambahnya pemahaman saya akan keyakinan takdir, ataupun pembelajaran bertubi-tubi akan makna perjuangan dan kehilangan. God Sign, sudah ada sejak jauh sebelum cabang itu terbentang. Dan kepekaan hatilah yang akan menuntun ranah mana yang akan dipijak. Mulailah melilhat dari kacamata pendewasaan diri, bukan hanya idealisme yang tercampur ambisi, kata saya, pada masa itu.

Sekali lagi, saya ambilkan cuplikan kisah kawan sekarib saya, Anugerah Murraya Saputra. Seorang pemuda yang berjanji dengan idealisme kokoh untuk menghijaukan Indonesia. Saya tau begitu kuat semangatnya mengejar mimpi. Pada detik saat lecutan takdir itu dipanahkan, ia berhasil. Sungguh saya mengakui betapa kesungguhan telah mengantarkannya pada janji yang saya yakin akan mampu ia pertaruhkan. Fakultas Kehutanan. Perjanjian antara ia dan negeri hijau ini, telah berhasil ia genggam, saat itu. Butuh waktu untuk saya memahami betapa ketulusan mampu memecah segala ambisinya. Dan akhirnya ialah yang juga begitu kokoh pada prinsip pengabdian di kampus Ali Wardhana, seorang pegawai DJP, kawan saya saat ini telah menemui janji pengabdiannya. Menghijaukan semangat untuk senyuman yang telah ia cetuskan.

Berakhir? Tidak saya masih memiliki kisah dari sahabat saya, teman perjuangan dalam lomba olimpiade kedokteran pada masanya. Rafika. Ibu dokter saya memanggilnya. Dia melepas apa yang menjadi egoisme terbesar dalam benaknya. Saya mengenalnya, setidaknya dalam kebersamaan 1 minggu di Surabaya. Api semangat untuk menggapai mimpi, mengabdi untuk memberikan yang terbaik, saya tau itu darinya. Perjanjian kami pada masa itu, ‘sampai ketemu di Kementerian Kesehatan bu dokter’. Mungkin akan ada pembuktian perjuangan pencapaian idealisme yang kami kerahkan sejak jauh hari. Dan itu telah berhasil diwujudkan. Pembuktian yang mengajarkan kami untuk gigih dalam menggapai dan ikhlas dalam melepas. Pada detik saya menemuinya di kampus ini, saya tau bahwa ada pengorbanan yang lebih besar dari segumul ambisi kami. Saya yakin, pilihan ini tak pernah salah.

Dan pada kenyataan yang kami alami, rasakan, dan nikmati di kampus perjuangan. Bukan sekadar rumusan kata hiperbola kawanku, sungguh, kami nyata berjuang untuk mempertanggungjawabkan atas uang yang membantu kami memperoleh ilmu dan impian kami untuk negeri ini. Bukan semata kepastian atau jabatan. Lihatlah ke depan, saya berani bertaruh bahwa masa depan negara ini akan dipikul oleh mereka yang memiliki keyakinan besar untuk mengubah peradaban dengan ketulusan dan kejujuran. Dan kami terus ditempa untuk hal itu. Berlian-berlian yang sempat dan pernah saya kenal akan menjadi bukti bahwa ketulusan dan keikhlasan dalam melepas akan memberikan kekuatan untuk bersama menggapai mimpi yang jauh lebih hebat lagi.


Bersemangatlah kawan, tak apa jika harus berakhir di medan ini. Mungkin akan ada jalan lain yang jauh lebih hebat yang ditakdirkan untuk orang hebat. Bukan lagi disini, memang, tapi pastikan bahwa muara itu tetap sama, untuk pengabdian bagi bangsa ini. Perjanjian untuk mengabdi? Tetap ada, bahkan jauh lebih kuat dan hebat disbanding letupan semangat karena ambisi atau idealism diri, karena kami berjuang dengan keikhlasan dan ketulusan hati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Skincare Rutin Theraskin untuk Ramadhan

Ramadhan, bulan penuh berkah bagi umat Muslim, tentunya memerlukan perhatian khusus dalam merawat kulit yang mungkin terpengaruh oleh peruba...