Saya tuliskan cuplikan pandangan ini, tentang apa yang orang
sebut sebagai perjuangan ataupun kehilangan. Di pagi hari tepat pada masa
liburan mahasiswa PKN STAN, luapan keinginan untuk mencoretkan bait kenangan
itu kembali membuncah. Saya menyadari bahwa keinginan dan mimpi kami sebagai
mahasiswa tidak lain dan tidak bukan adalah hanya ingin mencari identitas diri.
Lantas kemana ranahnya itu yang kadang tak kami mengerti.
Langkah demi langkah yang kami arungi, menyadarkan kami
banyak hal untuk diresapi. Bukan lagi tentang bagaimana aku dapat menggapai
impianku, mungkin iya seperti itu, tapi itu untuk aku yang dulu. Aku yang
berusaha keras untuk menjadi seorang dokter demi mewujudkan idealisme mimpi
yang dibuncahkan guru SD, saat itu. Mengapa, mengapa mundur?
Mungkin, dalam pandangan mereka, mengapa begitu banyak orang
yang memilih melepaskan mimpi hanya untuk setumpuk kepastian, uang, atau jabatan
yang semu. Begitukah?
Saya ambilkan cuplikan idealisme saya pada masa SMA,
keinginan kuat untuk mengabdi menjadi dokter professional yang tidak memungut
bayaran apapun, sekali lagi tidak memungut apapun. Saya meyakini rezeki akan
Allah atur sedemikian rupa, tak ada perasaan gentar dalam hati meskipun banyak
orang berkata, dokter tak akan membuatmu kaya, sejahtera, atau mapan. Tak
masalah, begitu kokohnya prinsip saya masa itu. Lecutan semangat itu terus ada
mantap seiring terhunusnya mimpi pada takdir yang membahagiakan, setidaknya
untuk saya. Fakultas Kedokteran, masyaAllah hai bu dokter. Seketika itu yang
saya tanamkan pada diri, menguatkan pijakan kaki bahwa akan saya tepati janji
untuk mengabdi. Lihatlah, senyuman anak-anak itu taruhannya.
Hingga saya kembali merenungi, mencampur adukan idealisme
yang saya miliki dengan realisme yang ada saat ini. Bisakah saya? Mungkin
terlalu pengecut saya pada masa itu, tersebab saya tau mungkin jalan itu akan
meruntuhkan idealisme yang saya miliki, mungkin kelak keadaan memaksa saya
untuk menjadi dokter yang terpaksa harus memungut bayaran. Terlalu takut bagi
saya jika hal itu terjadi. Demikianlah idealisme saya menyelimuti kegundahan
pikiran dan hati. Wallahi jalan itu, masa itu, dua minggu itu, kepastian itu,
bercabang. Saya akan merasa menjadi dokter yang gagal jika sampai hal itu
terjadi, dan itu artinya tidak akan pernah saya capai mimpi yang saya miliki.
Terlalu rumit untuk menjelaskan mengapa cabang ini yang
akhirnya dipilih, tapi satu jawaban yang pasti, pililhan ini karena Allah,
Tuhan saya. Bagaimana mungkin? Tapi itu yang setidaknya saya rasakan dengan
bertambahnya pemahaman saya akan keyakinan takdir, ataupun pembelajaran
bertubi-tubi akan makna perjuangan dan kehilangan. God Sign, sudah ada sejak
jauh sebelum cabang itu terbentang. Dan kepekaan hatilah yang akan menuntun
ranah mana yang akan dipijak. Mulailah melilhat dari kacamata pendewasaan diri,
bukan hanya idealisme yang tercampur ambisi, kata saya, pada masa itu.
Sekali lagi, saya ambilkan cuplikan kisah kawan sekarib
saya, Anugerah Murraya Saputra. Seorang pemuda yang berjanji dengan idealisme
kokoh untuk menghijaukan Indonesia. Saya tau begitu kuat semangatnya mengejar
mimpi. Pada detik saat lecutan takdir itu dipanahkan, ia berhasil. Sungguh saya
mengakui betapa kesungguhan telah mengantarkannya pada janji yang saya yakin
akan mampu ia pertaruhkan. Fakultas Kehutanan. Perjanjian antara ia dan negeri
hijau ini, telah berhasil ia genggam, saat itu. Butuh waktu untuk saya memahami
betapa ketulusan mampu memecah segala ambisinya. Dan akhirnya ialah yang juga
begitu kokoh pada prinsip pengabdian di kampus Ali Wardhana, seorang pegawai
DJP, kawan saya saat ini telah menemui janji pengabdiannya. Menghijaukan
semangat untuk senyuman yang telah ia cetuskan.
Berakhir? Tidak saya masih memiliki kisah dari sahabat saya,
teman perjuangan dalam lomba olimpiade kedokteran pada masanya. Rafika. Ibu
dokter saya memanggilnya. Dia melepas apa yang menjadi egoisme terbesar dalam
benaknya. Saya mengenalnya, setidaknya dalam kebersamaan 1 minggu di Surabaya.
Api semangat untuk menggapai mimpi, mengabdi untuk memberikan yang terbaik,
saya tau itu darinya. Perjanjian kami pada masa itu, ‘sampai ketemu di
Kementerian Kesehatan bu dokter’. Mungkin akan ada pembuktian perjuangan
pencapaian idealisme yang kami kerahkan sejak jauh hari. Dan itu telah berhasil
diwujudkan. Pembuktian yang mengajarkan kami untuk gigih dalam menggapai dan
ikhlas dalam melepas. Pada detik saya menemuinya di kampus ini, saya tau bahwa
ada pengorbanan yang lebih besar dari segumul ambisi kami. Saya yakin, pilihan
ini tak pernah salah.
Dan pada kenyataan yang kami alami, rasakan, dan nikmati di
kampus perjuangan. Bukan sekadar rumusan kata hiperbola kawanku, sungguh, kami
nyata berjuang untuk mempertanggungjawabkan atas uang yang membantu kami
memperoleh ilmu dan impian kami untuk negeri ini. Bukan semata kepastian atau
jabatan. Lihatlah ke depan, saya berani bertaruh bahwa masa depan negara ini
akan dipikul oleh mereka yang memiliki keyakinan besar untuk mengubah peradaban
dengan ketulusan dan kejujuran. Dan kami terus ditempa untuk hal itu.
Berlian-berlian yang sempat dan pernah saya kenal akan menjadi bukti bahwa
ketulusan dan keikhlasan dalam melepas akan memberikan kekuatan untuk bersama
menggapai mimpi yang jauh lebih hebat lagi.
Bersemangatlah kawan, tak apa jika harus berakhir di medan
ini. Mungkin akan ada jalan lain yang jauh lebih hebat yang ditakdirkan untuk
orang hebat. Bukan lagi disini, memang, tapi pastikan bahwa muara itu tetap
sama, untuk pengabdian bagi bangsa ini. Perjanjian untuk mengabdi? Tetap ada,
bahkan jauh lebih kuat dan hebat disbanding letupan semangat karena ambisi atau
idealism diri, karena kami berjuang dengan keikhlasan dan ketulusan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar