Senja telah nampak pada ufuknya, pertanda kehidupan
akan segera berganti kegelapan, akan beralih pada kesunyian. Angin sepoi
mengalun merdu mengiringi langkah menuju sebuah tujuan, yang kini sedang diusahakan.
Kenyataan padat jadwal kuliah hari itu membuatku harus menguatkan azzam lebih
keras lagi, menuju sebuah misi tak terbatas. Yang kusebut, misi dunia akhirat.
Tak
mudah memang mengayun harap dalam buai semu tanpa ada kepastian. Tetapi
keyakinan akan senyum malaikat kecil itu yang akhirnya mampu menegaskan abu.
Menjadi hitam atau putih itulah pilihannya.
Jiwa yang haus akan nasihat, menanti secercah harap
akan adanya motivasi penguat kalbu. Awalnya bimbang, memang, tak tau harus
kemana akan berlabuh jejak harap yang meluap. Hingga kutemui jiwa bersih yang
menjadi sumber penyemangat di sela lelah yang membisu. Kini, saat harap itu
mulai merekah menjadi nyata, aku hanya berharap bahwa dia-lah yang akan menjadi
pewarna kisah abu yang telah lama tertengger itu.
Dua adik kecil yang telah lama duduk di pelataran
masjid itu, lengkap dengan senyum tulus yang nampak jelas di wajah polosnya
serta Al-Qur’an yang usang telah lama ia dekap. Ku percepat langkah
mendatanginya, hanya sekadar memastikan keluguan wajah itu adalah wajah surga
yang akan ku gapai dalam perjalanan misiku. Ada rasa yang kenyataannya
membuncah ketika senyumnya merekah, menghapiriku, dan menjabat tanganku.
Mengaji adalah motivasi besar mereka datang,
menungguku, bahkan 30 menit sebelum kelas mengaji dimulai. Kuliahku yang juga
berakhir pukul 4.30 tepat memaksaku untuk datang terlambat hanya untuk
menyisihkan waktu berjalan dari gedung kuliah menuju masjid. Namun, betapa
senyum dan harap tak pernah pudar pada wajah dua penyemangatku itu. Mata mereka
seolah memberikan sinar harapan dan keyakinan bahwa mereka adalah mimpi dan
hadiah indah bagiku.
Tepat pukul 04.45 kelas pun dimulai, memang tidak
terlalu banyak anak TPA yang hadir di hari itu. Namun, aku tau pasti bahwa dua
adik kecilku itu pasti datang. Mereka yang menjadi alasanku saat rasanya tak
ada kekuatan untuk maju, saat lelah begitu dahsyat, atau saat masa futur
benar-benar datang. Mereka-lah yang membuat aku merasa malu untuk tidak membaca
Al-Qur’an, untuk tidak mempelajari atau mengamalkannya. Karena mereka pula lah
aku bangkit dan terus mengejar senyum itu, senyum yang menjadi target misi
dunia dan akhiratku. Merekalah.. Balqis dan Alif.
Dua kakak beradik itu memang berbeda., Alif, sang
kakak, yang telah menginjak bangku SMP, rasanya sudah tak seharusnya Alif
mengikuti TPA yang sebenarnya di khususkan untuk anak setingkat TK dan SD itu.
Namun, Alif bertekad tetap menemani adiknya untuk belajar mengaji, menjadi
penyemangat sang adik. Ia pun tak malu untuk bergaul dengan anak-anak lain yang
tentunya jauh lebih muda darinya. Sementara itu, Balqis sang adik, yang baru
menginjak SD kelas 1, pun menyimpan semangat dan tekad kuat dalam dirinya untuk
mengkhatamkan iqra dan segera membaca kitab yang paling mulia, Al-Qur’an.
Ada rasa malu yang mendera, saat lafadz Allah nyatanya
begitu menancap kuat dalam benak mereka, sedangkan diri ini kadang masih
terlalu sibuk dengan kesibukan yang melalaikan. Adik kecil itu, dengan
kemurnian niat dan jiwa yang tulus dari dalam hatinya.
Saat kutemui mereka, kami bersama belajar banyak hal.
Rasanya malah mereka yang lebih banyak mengajariku pelajaran. Kepolosan mereka
memberikanku penyadaran, betapa kita masih sering tidak mensyukuri nikmat yang
telah Allah SWT berikan. Memang terkadang kita harus mengingat kembali masa
kecil untuk sekadar kembali mengulang bahwa kita hanya butuh bangkit saat jatuh
dari sepeda, butuh makan ketika lapar, atau butuh teman bermain ketika sendiri.
Sederhana tapi sangat membekas. Kita hanya perlu melakukan hal yang berlainan
untuk membuat keadaan kembali seperti semula, tanpa banyak mengeluh, tanpa
banyak bicara. Terkadang memang pemikiran anak kecil itu lebih dewasa dari yang
sebenarnya orang dewasa.
Sesederhana seorang hamba mengiyakan titah Tuhannya,
sami’na wa atha’na. Kami dengar dan kami taat. Sesungguhnya begitulah
bersemayam tenang di jiwa jiwa yang diridhai oleh Sang Pencipta. Dan kini, jiwa
yang menerka penuh kebimbangan ini nyatanya telah menemukan pelipur yang
ternyata ada di hadapan mata. Dua malaikat kecil yang mampu mengubah pandangan
seorang musafir. Perjalananku dalam pencapaian misi, kini kupastikan sejenak
terhenti pada mereka. Terpaku melihat keagungan akhlak dan ketulusan sinar
harap yang terpancar dari mata mungil itu, senyum itu. Tak pernah ada duanya.
Mereka hanya menanti untuk sebuah perubahan. Mungkin,
Perubahan yang suatu saat mampu membawa mereka lepas dari kepompong yang telah
lama menyelimuti. Suatu saat nanti, tapi aku yakin, mereka akan terbang dengan
sayap indah mereka. Menjangkau tempat tak terbatas menjadi anak yang hebat. Kebahagiaan
mereka sekarang adalah taruhan kebahagiaanku, untuk seutas senyum dunia
akhiratku.
Unts unts
BalasHapus